Mematuhi Pemimpin Dalam Islam
Oleh, Kompol Drs. Safwan Khayat. M.Hum
Tatkala Allah SWT hendak menjadikan sosok pemimpin (khalifah) di muka bumi spontan saja makhluk yang sudah berabad tahun bertasbih memuji kebesaran Allah SWT yakni para Malaikat bertanya tentang eksistensi sosok pemimpin yang akan dijadikanNya. Bisa jadi situasi waktu itu (penulis sedikit berillustrasi) para Malaikat memberanikan diri bertanya kepada Sang Khaliq bahwa kehadiran makhluk baru selain komunitas mereka sendiri (para malaikat & jin) akan berbuat lain selain rutinitas yang mereka lakukan bertasbih memuji keagungan Allah SWT dan bekerja sesuai dengan tata aturan Sunnatullah tanpa sedikitpun mengingkarinya. Lebih dari itu, sosok makhluk baru nantinya dijadikan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi yang kedudukannya jauh lebih terhormat di atas makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang telah diciptakanNya.
Situasional ini termaktub dalam kalam Ilahi kitab suci Al Qur’an yang diyakini sebagai kitab rahmatan lil alamin dalam surat Al Baqarah 30 yakni ;
Ingatlah tatkala Allah berfirman kepada para Malaikat ; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan sosok makhluk sebagai khalifah di muka bumi”. Malaikat bertanya ; “Mengapa Engkau hendak menjadikan makhluk itu di bumi padahal nantinya makhluk itu gemar berbuat kerusakan dan tindakan kriminal yang melanggar aturan hukum dari Mu, padahal kami Kau jadikan senantiasa menjalankan perintah Mu tanpa berani mengingkari hukum Mu dengan selalu memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?” Allah menjawab: “Aku Maha Mengatahui apa saja yang tidak kamu ketahui”.
Substansi dari pemaknaan firman tersebut jika dikaji lebih lanjut bahwa seluruh makhluk yang telah diciptakanNya belumlah makhluk yang paripurna. Makhluk yang diberi julukan Manusia dengan pemberian sebutan nama Adam dalam surat Al Baqarah ayat 31-34 memiliki kesempurnaan lahiriah dan bathiniah dari makhluk lainnya..
Allah mengajarkan kepada Adam (panggilan makhluk baru itu) tentang sejumlah jenis ciptaanNya, lalu Allah (ajarkan pula kepada Malaikat tentang hal yang sama) dengan berfirman kepada Malaikat : “coba kamu sebutkan atas apa yang telah Aku ajarkan kepadamu jika kamu memang lebih baik darinya”. (QS..2.31) Lalu Malaikat menjawab ; “Maha Suci Engkau, kami tidak tahu selain yang kami ketahui, hanya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.2.32) Allah Berfirman : “Adam, ajarkan mereka atas seluruh nama ciptaan Ku agar mereka menyadari kelebihanmu. Lalu Adam menjelaskan kepada mereka hingga mereka tertegun. Allah kembali berfirman : “Sekarang kalian sudah tahu atas kelebihan Adam sebagaimana yang Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta apa saja yang kamu lakukan dan sembunyikan.(QS.2.33) Tatkala pula Allah perintahkan para Malaikat bersujud kepada Adam, para Malaikat pun bersujud kecuali makhluk Iblis dengan sikap enggan dan sombong bahwa ia golongan orang yang kafir.(QS.2.34).
Dalam konteks ini penulis batasi ada substansi lain dari rasionalisasi tafsir sosial mendeskripsikan bahwa memuliakan pemimpin dengan mematuhinya dan mengakui keunggulannya adalah perintah Allah. Tulisan ini tidak mendiskusikan tentang asal muasal makhluk Manusia melalui Adam sebagai simbolistik makhluk di muka bumi, tetapi menilik aspek kepemimpinan bahwa Allah mengajarkan kepada makhluk ciptaanNya (tanpa terkecuali) mematuhi pimpinan (khalifah).
Perintah Allah SWT kepada makhluk selain manusia Adam cukup jelas bahwa kelebihan manusia dengan segala bentuk jasmaniah dan rohaniah dapat mengungguli makhluk lain terhadap apa saja bentuk fenomena ciptaan Allah yang telah diajarkan kepada seluruh makhlukNya. Sebagai makhluk unggulan, Adam dengan kelebihannya mampu mengajarkan nama-nama benda ciptaan Allah kepada makhluk yang ada pada waktu itu. Atas keunggulannya pula, Adam yang didaulat Allah sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil alrd) turut pula dimuliakan Allah dengan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud sebagai wujud penghormatan atas ketinggian derajat Adam.
Ayat tersebut juga menjadi illustrasi sosial bahwa di muka bumi juga terjadi adanya sekumpulan manusia yang tidak mengakui keunggulan orang lain. Bentuk ketidak akuan atas kelebihan orang lain menjadi pemimpinnya yakni tidak menghormati segala bentuk perintah atau keputusan pimpinan dengan sikap perlawanan dan kesombongan. Hal ini bila dikaitkan dengan firman Allah di atas merupakan peristiwa ulang yang pernah terjadi tatkala Iblis tidak mengakui segala kelebihan manusia Adam atas dirinya. Iblis dengan enggan dan kesombongannya tetap bersikukuh bahwa dirinya jauh lebih unggul daripada Adam. Islam mengajarkan tata cara mematuhi pemimpin atas segala keunggulan yang dimilikinya. Seorang yang dinobatkan sebagai pimpinan tentu mereka yang dinilai memiliki keunggulan sekalipun relatifitas tetap ada sebagai wujud keterbatasan manusia itu sendiri. Tetapi ajaran Islam tetap mengajarkan etika menghormati kelebihan orang lain sebagai pemimpin kita.
“Duhai kaum yang beriman, ta’atilah Allah, Rasul(Nya) dan pemimpin di antara golongan kamu. Jika kamu berselisih paham dalam memandang suatu persoalan, maka coba rujuk firman Allah (Al Qur’an) dan sabda Rasul (Sunnahnya). (QS.4.58).
Sekilas himbauan ayat tersebut cukup jelas bahwa kita diperintahkan agar mentaati pemimpin. Ayat ini pula memberikan solusi jika dalam proses kepemimpinan terjadi perbedaan persepsi, maka kita harus merujuk ketentuan yang digariskan Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul (ajaran Islam).
“Duhai kaum beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara utuh (paripurna), dan janganlah perturuti perilaku Syaitan. Sebab Syaitan itu musuh yang nyata.(QS.2.208)
Tetapi yang menjadikan pertanyaan adalah, bagaimana jika perselisihan itu mengalami jalan buntu (deadlock) padahal Al Qur’an telah memberikan solusinya dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul(Nya) ? Kepada siapa figur alternatif yang harus dijumpai untuk mencairkan perselisihan itu ? Islam sebagai agama rahmatan lil alamin berisikan kesempurnaan ajaran tentang seluruh pranata sosial. Islam juga mengajarkan bahwa peranan ulama sebagai penerus Nabi dalam menjabarkan ajaran Islam dalam utuh (kaffah) cukup strategis. Figur ulama tidak boleh kita tinggalkan tatkala ditemukan jalan buntu dalam mencairkan perselisihan. Sebab Islam telah mengajarkan dalam Al Qur’an adanya sekelompok manusia pilihan (selain Rasul) yang bisa menjadi mediator memecahkan perselisihan di antara manusia.
“Di antara manusia, ada orang yang selalu menyerahkan dirinya mencari keridhaan Allah (ulama), dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.(QS.2.207)
Islam juga mengajarkan bahwa segala sesuatu jika kita terbentur mencari solusi harus menanyakan kepada ahlinya (fas ahlul dzikri in kuntum la ta’lamuun). Para ahli itu adalah pemimpin di antara golongannya yang menguasai akar persoalan yang lebih unggul di antara golongannya. Keahlian seseorang dinilai dari kemampuan atau keunggulannya melakukan olah fikir yang konstruktif serta ketepatan dan kecermatan dalam bertindak. Bagi yang berselisih harus pula berjiwa besar ketika menerima petunjuk yang diberikan tanpa mencampur adukkan antara yang hak (substansial) dengan yang bathil (insubstansial).
“Janganlah kamu mencampur adukkan yang Hak dengan yang Bathil, dan jangan pula kamu sembunyikan yang Hak itu, padahal kamu sendiri mengetahuinya. (QS.2.42).
“Jika kamu menyimpang sesudah ditunjukkan solusi bukti kebenaran kepadamu, maka sadarlah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.2.209).